Story

CAMOUFLAGE

Aku termenung sendirian memandangi ombak yang seolah berkejaran menuju karang-karang tepi pantai. Sore ini begitu tenang, amat kontras dengan suasana hatiku yang sedang berantakan. Sang surya perlahan mulai turun dan akhirnya akan menghilang di balik cakrawala awan hitam. Hembusan angin bertiup sangat kencang sehingga seperti manampar-nampar pipiku.

Teriakan anak-anak kecil yang sedang bermain layangan semakin menambah kompleks keindahan yang saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Dan semua itulah yang membuat indah pemandangan hari menjelang senja ini. Layang-layang itu… Jika angin bertiup ke utara dia terbang ke utara. Sebaliknya, jika angin bertiup ke selatan diapun mengikuti. Dari bawah layang-layang yang kulihat, tampak bocah-bocah itu hanya bisa mengendalikan agar si layang-layang tidak saling membelit satu sama lain.

Tanpa sadar, tiba-tiba layang-layang milik seorag anak berkaus biru dan bercelana hitam, putus benangnya. Layang-layang terbang semakin tinggi bersama hembusan angin. Ekorya yang berwarna oranye melambai-lambai seolah mengucapkan salam perpisahan. Begitu bebas… Tak lama kemudia si anak mulai terisak-isak. Hatiku seperti ikut teriris mendengar tangisanya yang tertahan.

Sekonyong-konyong salah seorang temannya datang menghampirinya dan mengulurkan benang layangan miliknya. Tidak lama kemudian, kulihat dengan jelas kedua anak lelaki kecil itu kembali asyik memainkan layangan milik mereka berdua…
“Riza… Cuma lima orang yang dapat beasiswa itu… Dan kamu peringkat keenam dari semua seleksi kemarin…” Raya sahabatku berkata sambil menunduk.

Seperti ada palu 10 kilogram menghamtam ulu hatiku ketika Raya menyelesaikan kalimatnya. Selama setahun ini aku sudah melakukan segalanya demi beasiswa ke sebuah universitas di Madrid itu, Membaca Koran, buku, mengikuti semua program berita di TV, mengikuti setiap perkembangan dunia maya… Yang paling berat adalah, Orang tuaku bahkan membayariku les bahasa Spanish.

Semuanya kulakukan demi mendapatkan beasiswa 6 semester penuh setelah kelulusan SMA nanti, yang juga merupakan harapan besar orang tuaku yang dibebankan di pundakku.
“Riza.. maaf, ya… “ Raya mengangkat pundakku seraya menekannya erat-erat, “ Aku sendiri juga enggak tahu mesti ngomong apa lagi ke kamu… Aku tahu kamu berusaha keras buat ini semua, tapi..”
“Memang nggak ada yang bisa dikatakan kok,Ray” ucapku datar.
Aku melepaskan tangan Raya dan melangkah pergi. Menjauh. Aku tak akan bisa menahan air mataku bila Raya berlaku seperti itu. Padahal, membuat sedih orang yang kucintai karena memikirkanku adalah hal terakhir yang ingin kulakukan di dunia ini.
Kukatakan pada diriku beruang-ulang bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Kalau memang kesempatan masih ada, aku pasti akan berusaha mendapatkannya lagi. Kali ini takkan kubiarkan gagal. Tapi bagimana bila kesempatan itu tak akan pernah datang meski aku terus mencari? Sebuah suara lain hatiku berbisik. Entahlah. Kusadari aku tak punya jawabannya. Who knows? Who’s Care? Sahutku acuh tak acuh pada diriku sendiri…

Aku menghela napas dalam-dalam. Baru saja Pak Obet, Kepala perencanaan kurikulum sekolah mengatakan bahwa bukan Lagu ciptaanku yang terpilih untuk dijadikan soundtrack Tutup Tahun kali ini. Selama 4 bulan 1 minggu aku bersusah payah membuatnya, tetapi lagu karya Fino-lah yang dipilih.

Mengarang lagu untuk soundtrack tutup tahun angkatan memang merupakan suatu hal yang diangap bergengsi di sekolahku. Dari tahun ke tahun hal ini menjadi semacam tradisi.

Lagu Fino memang bagus, tapi itu bukan karyanya. Aku tahu dia menyewa seorang musisi handal. Tidak mengherankan, sebab ayahnyalah donatur terbesar bagi sekolah mewahku ini. Cerita klasik khas sekolah swasta, gumamku. Dan nasib yang klise dari seorang siswa penerima beasiswa tidak mampu.
“ Harusnya kamu protes, Riza!” Raya berkata kesal.
“ Sudah ah,” sergahku,” masalah lama belum selesai, buat apa ditambah?”
“ masalah apa, sih?” seseorang tiba-tiba memotong pembicaraan kami berdua.
Sheila. Salah satu penyemangatku selain orang tuaku dan Raya pasca kegagalan beasiswa di Madrid itu.
“ Bukan apa-apa. Cuma Raya yang terlalu membesar-besarkan.” Aku mencoba tersenyum.

Aku paling tidak tahan membuat orang-orang merasa ikut gelisah atau bingung memikirkan masalahku. Terlebih Sheila. Terhadap Raya pun sama, tetapi karena kami sudah bersahabat seumur hidup, mau disembunyikan sedetail apa, dia pasti akan segera tahu sampai detail terkecil.
“ Shel, Kayaknya kamu harus coba bikin Riza lebih terbuka terhadap perasaannya sendiri, deh.” Cetus Raya,” Kamu juga cemas kan, kalau Riza terus-terusan memendam semua masalahnya sendirian?”
“Raya!”tegurku.
Raya mengangkat bahu, sembari menepuk pundak Sheila dan berjalan pergi.
Sekarang Sheila menatapku. Lembut. Sampai aku merasa tubuhku meleleh.
“ Soal Fino, ya?” ujarnya pelan.
Aku hanya bisa mengangguk. Tak kuasa membalas tatapannya yang begitu tajam, yang seperti memaksa untuk menelanjangi setiap ruang dalam hatiku.
“Hmm…” Sheila medesah lama,”Aku minta maaf,ya?”
“ Buat apa?” tanyaku bingung.
“ Maaf karena aku terlalu sayang sama kamu,sampai-sampai Fino jadi begitu. Kamu sendiri ngerti kan, sejak kecil aku memang akrab sama Fino, tapi aku nggak pernah mengira dia salah mengartikan itu semua…”
Sekali lagi, aku berusaha keras untuk tersenyum.
“ini juga kesekian kalinya kamu menjelaskan soal itu. Sudahlah Shel, aku bisa ngerti, kok. Sama sekali bukan salah kamu..” ujarku.
“ Hey, ini juga kesekian kalinya kamu ngomong begitu.”

Sheila tertawa. Aku juga ikut tertawa. Pelan memang, tapi paling tidak sedikit lebih tulus daripada senyum lebar palsu yang kutebar di mana-mana sepanjang minggu ini kepada orang-orang yang mengkhawatirkanku.

Entah mengapa persahabatan masa kecil pasti berubah membingungkan seperti ini… Aku merasa begitu sedih mengingat betapa dulu aku, Raya, Fino begitu akrab. Hanya semenjak SMA, semenjak kami lebih tahu tentang cinta, semuanya berubah.

Apa yang salah dengan manajemen hatiku? Sampai hari ini belum kutemukan jawabanya. Padahal sudah sebulan semenjak pengumuman beasiswa dan masalah soundtrack tutup tahun itu. Tapi tetap saja kedua mataku terlihat sayu. Tetap saja aku merasakan dengan jelas ada lubang besar yang menganga dalam hatiku. Ada kehampaan merebak ke seluruh ruang batinku… Memaksaku tenggelam dalam kekecewaan mendalam yang nyaris tak terlukiskan.
“Riza, ada Raya di depan!” seru Mas Adin, kakakku.
Kulihat mata Raya sembab. Wajahnya tampak pucat diterangi lampu terasku yang redup.
“Ada apa , Ray? Tanyaku penasaran.
“Riza… Sheila sekarang di rumah sakit… dia…”

Aku hanya ingat, lorong rumah sakit itu terasa panjang sekali. Derap kakiku dan Raya menggema, menambah kelam suasana hatiku. Aku berteriak dalam hati, mengemis pada Sang Pencipta.
“Riza..” Ibunda Sheila menerimaku bersama Raya dengan penampilan yang berantakan namun kulihat tatapannya masih tajam, seolah beliau bisa menerima takdir apa adanya. “Jantungnya kumat lagi… Tante nggak tahu lagi sampai kapan dia bisa bertahan…”

Speechless.. Aku tak sanggup menumpahkan sepatah kata pun. Tenggorokanku seperti tercekat. Sheila memang memiliki jantung yang lemah semenjak kecil. Tapi dia adalah orang yang mempunyai semangat hidup paling besar yang pernah kutemui. Kadang bahkan dia jauh lebih optimis daripada aku yang dilahirkan dalam kondisi sehat, yang tak pernah sekali pun menginap di rumah sakit kecuali saat menemani ayahku ketika dulu mengidap penyakit kanker ganas.
“Kenapa…” aku tak kuasa meneruskan kalimatku.
“Dokter sejak dulu memang sudah memperkirakan kalau Sheila nggak akan bertahan sampai usia tujuh belas tahun, tapi… “ Ibu Sheila kembali tersedu.

Perkiraan dokter! Kukira hal-hal atau istilah semacam itu hanya bisa kutemui dalam novel-novel atau sinetron. Tak kusangka aku akan menghadapinya juga.
“Riza… tadi katanya Sheila mau ketemu kamu…”Ujar Raya. Aku menatap Raya, yang juga saudara kembar Sheila, walaupun Raya adalah seorang laki-laki, dia memiliki sepasang mata indah seperti milk Sheila.

Aku bergidik melihat begitu banyak selang dan alat mengerikan yang terpasang di tubuh Sheila. Dia tampak begitu lemah, aku harus mengerahkan segenap tenagaku agar Sheila bisa bertahan dan tidak pingsan.
“ Shel.. “ aku mulai berani berucap.
Aku begitu ingin mengungkapkan sesuatu, tetapi juga begitu takut.
“ Shel.. kalau saja aku bisa memmberikan jantungku buat kamu… “
Sheila membuka mata. Dan menggeleng lemah.Pelan.Pelan sekali.

Aku tersentak ketika sesosok tubuh mungil jatuh menimpaku. Seketika seluruh lamunanku buyar dan aku kembali ke dunia nyata, menghirup udara yang kental dengan bau asin.

“ Wah! Maaf ya, Mas… Nggak sengaja… Habis layangangku terbangnya ke sini… “ si bocah yang kehilangan layangan tadi mengusap-usap lututnya.
Aku mengumbar senyum kecil sembari melihatnya sibuk membersihkan pasir yang menempel di Jas Almamater SMA dan pipiku.
Aku menggelengkan kepala dan beridiri sambil menggandeng tangannya,
“ Eh, Aku boleh ikut main sama kalian nggak?” tanyaku.
“ Emang Mas bisa main layangan?” Bocah itu bertanya polos.
“ Bisa, dong!” aku mengacungkan jempolku.
Anak kecil itu tersenyum lebar dan menarik tanganku, “ Ayo, Mas nanti layangannya keburu jatuh… “

Begitulah. Sepanjang senja itu kuhabiskan untuk bermain layang-layang. Izinkan aku Tuhan, bisikku dalam hati, untuk sejenak melepaskan diri dari segala himpitan kesedihan yang selama ini begitu sukar kulepaskan untuk sekedar tertawa-tawa rian bersama makhluk-makhluk tanpa dosa ini, menerbangkan layangan, sekaligus menerbangkan segala beban masalah….

Kuharap aku bisa pulang dalam perasaan lepas. Aku tidak tahu alasannya. Hidup ini begitu adil. Langit selalu terbuka bagi siapa saja, Matahari yang berwibawa, Dia tampak sangat hebat di siang hari. Aku suka itu. Hujan yang membawa warna lain tadi pagi. Aku juga suka. Warna oranye yang setia menjadi selimut awan untuk beberapa menit di senja hari. Yang inipun aku juga suka. Dan malam yang berkerlip seakan mengajak berkomunikasi dengan makhluk-makhluk bumi yang kesepian. Sungguh menjadi momen yang kusukai. Meski aku tahu pada akhirnya aku harus menurunkan layangan itu dan menggulung benangnya dengan rapi dan mencegahnya menjadi kusut.

Apakah besok aku akan datang ke pantai ini lagi untuk bermain layang-layang
bersama adik-adik ini? Ah, Belum tentu pula mereka bermain lagi besok. Sudahlah. Biarlah itu kupikirkan besok.

( Pengarang asli : Hayu Qisthi A, dengan perubahan )dalam novel "reflection"